22 Januari 2009

MEMBANGUN PEREKONOMIAN RAKYAT NUSA TENGGARA TIMUR

Mubyarto

Pendahuluan

Gubernur Piet Tallo yang alumni Fakultas Hukum pernah menolak julukan miskin bagi daerahnya. "Mungkin warga NTT belum se-makmur saudara-saudaranya dari daerah lain, tetapi propinsi ini sedang mengeksplorasi berbagai potensi tambang dan kekayaan alam lain yang kelak akan membantu mengubah nasibnya".

Sebagai salah satu dari 4 propinsi "termiskin" di Indonesia berdasarkan tingkat PDRB perkapitanya, yang seluruh desanya dinyatakan sebagai desa IDT pada tahun 1996, survei BPS tahun 1997 menempatkan NTT pada urutan nasional ke-6 (79,5 % berhasil dalam aspek ekonomi). Di antara 4 propinsi "termiskin" ini hasil lengkap survei BPS-1997 dilihat pada tabel 1.

Tabel 1: Tingkat Keberhasilan Pokmas IDT Menurut Bidang (%) di 4 Propinsi

Propinsi

Ekonomi

Partisipasi

Kemandirian

Kelembagaan

Keseluruhan

NTT

79,5

88,0

64,4

75,6

76,9

NTB

71,1

88,7

63,8

91,2

78,7

Maluku

32,9

96,7

23,5

57,9

52,8

Irja

31,6

86,5

5,30

32,6

39,0

Sumber: RI, Pidato Pertanggungjawaban Presiden, Maret 1998

Dalam pertemuan terbatas di Kupang tanggal 20 Januari 2001, wakil LSM dan sejumlah dosen Undana menyatakan optimisme terhadap masa depan ekonomi NTT. Meskipun tahun 1998 terjadi kontraksi ekonomi minus 2,73%, tetapi ekonomi rakyat yang masih agraris berdaya tahan tinggi dan justru merasa diuntungkan oleh krisis moneter tahun 1997. Secara keseluruhan ekonomi NTT sudah pulih dari krisis.  Namun khusus tentang prospek otonomi kebanyakan pakar masih merasa cemas. Bahkan pemahaman tentang pengertian otonomi daerah sendiri masih cukup rancu, yang menonjol di antaranya berupa kerisauan menurunnya wibawa pemerintah daerah propinsi di mata pejabat-pejabat kabupaten/kota. Bahwa OTDA penuh diletakkan di kabupaten/kota, dan di propinsi hanya merupakan otonomi terbatas, rupanya dianggap sebagai perubahan amat fundamental yang terkesan menghapuskan kekuasaan dan fungsi kooordinatif dari pemerintah propinsi atas kabupaten/kota dalam lingkungan propinsi. Kesan demikian tentu mengganggu pelaksanaan pemerintah daerah.

 
 

Perekonomian Daerah

Jika tahun 1996 dan 1997 pertumbuhan ekonomi NTT cukup tinggi (masing-masing 8,22% dan 5,62%), pada tahun krisis (1998) mengalami kontraksi –2,73%, tidak tinggi dibanding kontraksi –4,64% untuk wilayah-wilayah luar Jawa, dan jauh lebih rendah dibanding kontraksi –11,8% (Jawa-Bali) atau –13,4% (5 propinsi Jawa). Maka dapat dimengerti seperti halnya wilayah-wilayah lain di luar Jawa, adanya bagian-bagian masyarakat yang "menikmati krisis" dengan kemakmuran yang meningkat. Data-data pertumbuhan PDRB per kabupaten/kota yang lebih lengkap selama Repelita VI terlihat pada tabel 2.

 
 

Tabel 2: Pertumbuhan PDRB Per Kabupaten/Kota se Propinsi NTT

No.

Kabupaten/kota

1998

1999

2000

Rata-rata 1994 - 2000

1.

Sumba Barat

-0,42

0,42

2,94

3,10

2.

Sumba Timur

-3,24

-1,21

1,57

3,54

3.

Kupang

-2,40

4,62

5,13

5,83

4.

Timor Tengah Selatan

-2,75

3,22

4,54

4,75

5.

Timor Tengah Utara

-6,28

6,57

3,67

4,11

6.

Belu

-3,63

2,04

2,91

4,97

7.

Alor

-2,50

-0,44

4,33

4,05

8.

Lembata

-

-

2,01

-

9.

Flores Timur

-1,03

5,37

4,95

5,72

10.

Sikka

0,22

0,91

4,42

5,20

11.

Ende

-6,69

1,72

4,71

3,68

12.

Ngada

-0,54

3,43

6,72

5,49

13.

Manggarai

0,08

1,18

3,83

3,72

14.

Kota Kupang

-8,51

6,18

4,61

0,18

   

NTT

-2,73

2,73

3,98

   

Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa kontraksi ekonomi rata-rata kabupaten/kota se-propinsi cukup merata dengan angka tertinggi di kabupaten Ende (-6,69%) dan TTU       (-6,28%) dan kontraksi terendah adalah di Manggarai yang masih tetap tumbuh positif meskipun kecil sekali (0,08%). Namun menjadi tanda tanya mengapa kontraksi ekonomi yang tertinggi di kabupaten Ende rupanya tidak terkait dengan data perbankan yang justru meningkat yaitu simpanan dan tabungan berjangka masing-masing naik 19,2 kali (dari Rp 2,8 milyar ke Rp 53,6 milyar) dan 6 kali (dari Rp 21,7 milyar ke Rp 129,7 milyar).

Data dari Bank Indonesia propinsi NTT 1993-2000 menunjukkan kenaikan penghimpunan dana "luar biasa" yaitu 19,7% pertahun, yang paling tinggi adalah kenaikan pada awal krisis ekonomi yaitu dari Rp 899,20 milyar (1997/98) menjadi Rp 1.554,69 milyar (1998/99) kenaikan 73%. Kenaikan paling tinggi adalah penghimpunan dana di kabupaten Ende (105%) dan Kabupaten Kupang (79%). Kenaikan nilai  penghimpunan dana di Ende yang luar biasa ketika krismon, rupanya berlanjut sampai sekarang (2000), sehingga dana perbankan Ende yang hanya Rp 40,9 milyar tahun 1993/94 (urutan ke-4 dari 7 wilayah) kini menjadi no.3 di Propinsi NTT melampaui wilayah Ngada dan Manggarai. Pada bulan Oktober 2000 dana yang dihimpun perbankan Ende mencapai Rp 210,82 milyar melampaui Ngada/Manggarai yang hanya mencapai Rp 162,31 milyar. Yang menarik untuk dicatat adalah ketimpangan ekonomi antardaerah yang relatif  "ringan". Dana yang dihimpun perbankan di Ibukota propinsi (Kupang) "hanya" 54,5% dari dana perbankan di seluruh propinsi NTT (Oktober 2000) hanya sedikit meningkat dibanding pangsa tahun 1993/94 sebesar 48,9%. Jumlah dana perbankan yang dihimpun bulan Oktober 2000 seluruh NTT mencapai Rp 2,08 trilyun naik 4,7 kali dari nilainya pada tahun 1993/94 (Rp 439 milyar).

Peningkatan dana masyarakat Ende berupa simpanan dan tabungan berjangka (Rp 183,3 milyar, Oktober 2000), tidak "dikembalikan" sebagai kredit yang dibutuhkan masyarakat setempat tetapi dikirim ke luar daerah (Jakarta). Kredit yang diberikan hanya Rp 37,2 milyar (20%) lebih rendah dari persentase kredit yang diberikan pada tingkat propinsi (28,6%). Alasan yang biasanya diajukan adalah tidak adanya usaha-usaha "produktif" yang memenuhi syarat untuk didanai dengan kredit bank, meskipun disadari bahwa syarat-syarat ini adalah syarat-syarat kredit komersial formal yaitu 5 C (collateral, character, capacity,
condition dan capital). Syarat-syarat formal ini diakui terlalu kaku, yang oleh BI setempat dalam proyek PHBK (hubungan Bank dan kelompok swadaya) dan KKPA (Kredit Koperasi Pada Anggota) telah diabaikan.

Pimpinan Bank Indonesia yang hadir dalam diskusi di Kupang tidak melihat adanya kejanggalan ini karena menurutnya dalam "sistem ekonomi pasar bebas" perilaku modal keluar masuk daerah, bahkan ke luar negeri sekalipun, tidak dapat diatur. Dana bank yang harus dibayar bunganya kepada penabung tidak mungkin dibiarkan diam (idle). Kantor Pusat setiap bank akan harus mengembangkannya, dan yang paling mudah dalam situasi ekonomi sekarang (krismon) adalah dibelikan SBI yang bunganya menarik. Sebenarnya jika Bank Umum di daerah mau bekerja keras, akan ditemukan usaha-usaha kecil ekonomi rakyat yang mau dan mampu membayar tingkat bunga pasar. Tetapi sering dikatakan bahwa bank-bank tidak memiliki tenaga dan pengalaman untuk menyalurkan kredit kecil atau kredit mikro seperti ini.

Analisis perekonomian daerah kembali ke lingkaran awal. Ekonomi daerah yang miskin tetap selalu tertinggal. Bahkan kenaikan pendapatan yang diperoleh dari dan selama krismon tidak dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ekonomi rakyat lebih lanjut. Dalam otonomi daerah "lingkaran setan" seperti ini perlu diputus. Dunia perbankan setempat bersama Pemerintah Daerah harus sungguh-sungguh berkoordinasi untuk mengubah hukum ekonomi kapitalisme liberal menjadi hukum ekonomi kerakyatan. Di daerah harus ada kebijakan khusus yang merangsang investasi. Jika masyarakat kecil (ekonomi rakyat) mulai tertarik menggunakan jasa perbankan yang mudah dalam bentuk simpanan dan tabungan berjangka, pihak perbankan harus juga berubah dalam melayani ekonomi rakyat dalam kebutuhan kredit yang mudah dan murah, dengan meninggalkan kriteria pemberian kredit formal yang kaku. Program pemberdayaan ekonomi rakyat akan berkembang melalui program kredit mikro ala Grameen Bank yang berhasil di Bangladesh dan sudah "ditiru" di banyak negara termasuk di Indonesia. BRI dengan kredit Unit Desanya sebenarnya sudah maju jauh sebelum Grameen Bank, tetapi rupanya tetap saja belum mampu mengatasi kebijakan kredit yang lebih berpihak pada sektor industri modern dan usaha-usaha besar di kota-kota.

 
 

Program Pemberdayaan ekonomi rakyat

Jika di sejumlah propinsi program IDT sudah "dilupakan" atau sudah "diganti" program lain seperti PPK (Program Pengembangan Kecamatan) di kabupaten Kupang, program IDT masih berjalan baik. Pendamping Sarjana yang diangkat dan digaji Pemda masih banyak yang aktif. Seorang SP2W, Hendrikson Adoe (30 th), yang hadir pada pertemuan dengan 2 Pokmas IDT di Kalurahan Babau kecamatan Kupang Timur, meyakinkan masih perlunya pendamping bagi Pokmas-Pokmas IDT, yang diangkat serta digaji oleh Pokmas yang didampinginya. Ibu Johanna Maxi, pimpinan LSM Bina Swadaya Kupang yang mengkoordinasi 12 pendamping menyatakan dapat dikembangkannya program pendampingan ini dengan syarat pendamping yang bersangkutan mendampingi paling sedikit 20 Pokmas secara sungguh-sungguh dan purna-waktu. Ditaksir sekitar 10% dari SHU Pokmas cukup memadai untuk menggaji Pendamping yang bersangkutan. [1] 

[1] Pendamping Bina Swadaya mendapat gaji (terendah) Rp 275.000 per bulan ditambah biaya operasional Rp 50.000 per bulan, uang jalan jika berdinas keluar (Rp 7.500/hari), dan dilengkapi sepeda motor. Gaji pendamping yang tinggi ini masih disubsidi kantor Bina Swadaya sampai sekitar 50%.

Program IDT di 2 desa Oebelo, Kupang tengah, dan desa Babau, Kupang Timur, memang berjalan baik. Di desa Oebelo antara 25-35% penerima dana IDT benar-benar telah mentas dari kemiskinan yang melilitnya. Sedangkan di desa ke-2 yaitu Babau berhasil sekitar 30%. Kegagalan 70% program di desa pertama bukanlah karena ketidaksungguhan anggota tetapi karena musibah menjalarnya penyakit ternak babi pada tahun pertama. Di desa Babau sekitar 30% telah berhasil mengubah program IDT menjadi Koperasi Simpan Pinjam yang segera memperoleh status badan hukum.

Salah satu kunci keberhasilan program IDT di NTT adalah dukungan penuh dan konsisten dari Pemda, baik Pemda propinsi maupun Pemda kabupaten/kota, antara lain melalui pengembangan program pendampingan dengan dana APBD. Program pendampingan ini akan jauh lebih berhasil lagi, jika Pemda (dhi PMD) serius memantau pelaksanaannya. Dalam kenyataan, cukup banyak pendamping yang bermutu dan memihak pada penduduk miskin. Dalam pada itu 2 jenis pendamping lainnya (yang tidak purna-waktu) seperti aparat desa, dan tokoh-tokoh masyarakat setempat, serta penyuluh-penyuluh dari berbagai dinas sektoral, sulit diharapkan mencurahkan perhatian pada Pokmas IDT dan anggota-anggotanya. Dana Rp 600.000 yang disediakan sebagai BOP (Biaya Operasional Pemantauan) pada desa sulit dilihat hasilnya, lebih-lebih setelah dipadukan ke dalam dana bantuan Desa sejak TA 1996/97.

 
 

Otonomi Daerah dan Otonomi Desa

Otonomi Daerah dan prospek pelaksanaannya di Propinsi, kabupaten, dan desa-desa di NTT cukup baik meskipun masih ditemukan berbagai masalah. Bahwa Pemda kabupaten/kota kini lebih besar wewenangnya ketimbang propinsi, karena yang pertama menerima otonomi penuh, sedangkan yang ke dua otonomi terbatas, memang benar tercantum dalam pasal-pasal UU No.22/1999. Namun yang belum jelas adalah implikasinya dalam penyusunan program-program untuk melaksanakan wewenang tsb. Misalnya dalam program-program penanggulangan kemiskinan ala IDT, apakah pemikiran ke arah perbaikan dan penyempurnaan program IDT termasuk program pendampingan kini merupakan tanggung jawab penuh Pemda kabupaten? Jika ya, apa tugas dan tanggung jawab Pemda propinsi (atau PMD) dalam hal ini?

Yang lebih sulit lagi adalah memikirkan kelanjutan program-program penanggulangan kemiskinan pada tingkat desa. Misalnya seorang ketua Pokmas Simson Misa (49 th, tamatan SD) dari desa Babau, Kupang Timur, dengan polos menanyakan "Apakah setelah Otda masih akan ada tamu seperti Pak Mubyarto yang mengevaluasi program-program penanggulangan kemiskinan seperti IDT dan PPK?"  Pertanyaan demikian diajukan karena ada pernyataan bahwa dalam Otda "semua program penanggulangan kemiskinan harus dibuat sendiri oleh kabupaten", dan program-program ini harus lebih baik dibandingkan program-program yang disusun secara nasional seperti IDT oleh Bappenas dan Depdagri. Karena mereka lebih dekat dengan rakyat, tidak ada alasan program yang bersangkutan tidak sesuai dengan aspirasi rakyat.

Program-program pembangunan yang disusun Pemda kabupaten/kota bersama DPRD memang harus makin banyak yang berasal dari desa/kelurahan, dan disusun oleh BPD (Badan Perwakilan Desa) yang di antara tugas dan kewajibannya adalah meningkatkan kesejahteraan rakyat berdasarkan demokrasi ekonomi (pasal 22 dan 101). Jelas di sini bahwa rakyat atau warga desa sendirilah, melalui BPD, yang setelah dilaksanakannya OTDA dapat menyusun, melaksanakan, dan menilai program-program penanggulangan kemiskinan dan pembangunan perdesaan pada umumnya. Tamu-tamu, atau pakar-pakar dari pusat atau propinsi, tetap dapat datang untuk mengadakan kajian-kajian, tetapi warga desa sendirilah yang pada tingkat akhir akan meluncurkan program-program yang diinginkannya, dan yang dapat menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat. OTDA seharusnya tidak difokuskan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi tetapi yang lebih penting adalah meningkatkan pemerataan dan keadilan menuju terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 
 

Kesimpulan

Menyaksikan ketekunan dan kesungguhan masyarakat dan aparat Pemda propinsi dalam melaksanakan program IDT di propinsi NTT, kita melihat program penanggulangan kemiskinan sudah mencapai tahap gerakan masyarakat sebagaimana dirancang program ini pada awal peluncurannya. Sudah tercapainya tahap gerakan masyarakat (GEMA) antara lain terbukti dari sambutan Pokmas IDT di seluruh propinsi untuk menghimpun kembali dana IDT yang berada di Pokmas-Pokmas untuk dijadikan semacam Bank Desa pada tingkat kecamatan.

Meskipun pendirian Bank Desa pada tingkat kecamatan dengan dana IDT yang sudah bergulir di Pokmas ini belum tentu dapat dianggap kemajuan, tetapi akan menjadi indikator tercapainya kemandirian keuangan desa seperti UPK (Unit Pelayanan Keuangan) dalam Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Memang dalam membangun kelembagaan Bank Desa ini profesionalisme dalam pengelolaannya harus prima, dan dilaksanakan dengan koordinasi penuh dengan Bank Indonesia setempat, disamping sikap pemihakan pejabat Pemda yang jelas pada kepentingan ekonomi rakyat. Konsep dasar program IDT adalah makin mendekatkan lembaga perkreditan dan pendanaan pembangunan masyarakat desa pada penduduk desa. Setiap usaha untuk meningkatkan skala ekonomi lembaga ini demi efisiensi harus lebih menguntungkan ekonomi rakyat.

Otda yang juga berarti otonomi desa perlu memperoleh perhatian Pemda dan DPRD kabupaten dalam bentuk penyusunan Perda-Perdanya. Sikap dan tradisi demokrasi yang tinggi pada masyarakat NTT harus dimanfaatkan untuk segera  membentuk BPD. Jika BPD berhasil menghimpun tokoh-tokoh muda masyarakat desa yang profesional, seperti mantan SP2W, maka ini merupakan salah satu kunci percepatan pemberdayaan ekonomi rakyat desa. Satu kendala yang selalu disinggung dalam diskusi-diskusi kecil adalah kondisi multietnik masyarakat NTT yang kurang mendukung kerukunan warga desa, lebih-lebih dengan membanjirnya pengungsi dari Timor Timur sejak September 1999. Untuk mengubah kondisi multietnik menjadi faktor dinamika masyarakat, pemerintah daerah perlu membentuk badan/lembaga khusus untuk menanganinya. Jika masalah multietnik ini benar-benar dapat digarap secara transparan dan profesional, maka rasa optimisme Gubernur yang disebutkan pada awal tulisan ini pasti makin berkembang. Dan NTT tidak akan lagi diartikan sebagai "Nasib Tak Tentu" tetapi "Nasib Terpancar Terang".

 
 


 


Prof. Dr. Mubyarto,
Guru Besar FE-UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM (PUSTEP-UGM)

Makalah disampaikan pada Seminar Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Provinsi NTT, tgl. 26 Nopember 2002. di Hotel Kristal, Kupang.

 
 

Tidak ada komentar: